puncak jaya

puncak jaya
kotabaru

Sabtu, 27 Oktober 2012

Kekerasan Berlanjut di Papua, SBY Didesak Buka Ruang Dialog


Saturday, 27-10-2012 23:00:47 Oleh MAJALAH SELANGKAH Telah Dibaca 21 kali

Jakarta, MAJALAH SELANGKAH – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) bersama beberapa Lembaga Element masyarakat dari Papua , National for Papua Solidarity (NAPAS), Bersatu untuk Kebenaran (BUK), dan YAPHAM mendesak Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  untuk segera membuka ruang gerak demokrasi di Papua.

KontraS menyesalkan hak  atas kemerdekaan, berkumpul dan mengeluarkan pendapat di Papua tidak  sepenuhnya dijamin oleh negara. KontraS mencatat, sejak  Januari hingga Oktober 2012 terdapat  81 tindakan kekerasan,  setidaknya 31 meninggal dan 107 orang mengalami luka-luka di Papua.


Ilustrasi kekerasan di Papua @Ist

Terakhir, tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan saat pembubaran demonstrasi tanggal 23 Oktober 2012 di Monokoari, dengan penembakan kepada empat orang peserta massa aksi Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan, demokrasi di Tanah Papua telah dipancung dan menjadi tantangan berat bagi warga sipil untuk mengkritisi kebijakan Negara (TNI & Polri) yang berlangsung hingga saat ini.

Tidak diterbitkannya “Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP)” seringkali menjadi alasan bagi pihak kepolisian untuk membubarkan massa yang melakukan demo. Tindakan ini selanjutnya menjadi pintu masuk untuk melakukan penangkapan, penyiksaan dan penembakan kepada sejumlah warga sipil di Papua. Terakhir,  tindakan kekerasan yang dilakukan pihak kepolisian pada pembubaran massa aksi, 23 Oktober 2012 di Manokwari, termasuk tindakan kekerasan terhadap jurnalis, Oktovinus Pogau.

Direktur Program The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Al Araf di Jakarta, Senin, (22/10),  mengatakan, selama Pemerintahan Presiden SBY-Boediono, kondisi penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia belum menggembirikan baik dalam sektor regulasi ataupun dalam penegakannya.

Kata dia, misalnya, dapat dilihat dari belum dilakukannya ratifikasi ICC, serta jaminan perlindungan pembela HAM melalui UU belum diwujudkan.  Dinilai, belakangan ini, trend kekerasan aparat terjadi dalam kasus konflik agraria, pelanggaran kebebasan beragama, dan kekerasan terhadap jurnalis. ”Di Papua, tercatat hingga kini masih terus menjadi daerah konflik yang penuh kekerasan oleh aparat terhadap masyarakat,” kata dia.

Desakan pembukaan ruang demokrasi di Papua tidak hanya datang dari dalam negeri. Tanggal 14 Juni 2012 lalu, Human Rights Watch dari New York mendesak  pemerintah Indonesia mengizinkan akses media dan kelompok masyarakat sipil internasional ke Papua guna melaporkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Human Rights Watch juga mendesak Indonesia menerima seruan dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membuka akses dan mengundang pelapor HAM PBB ke provinsi Papua.

“Dengan tetap membiarkan Papua tertutup, pemerintah Indonesia memelihara kebiasaan kebal-hukum di antara aparat keamanan dan kemarahan warga Papua. Perlu mengizinkan media dan masyarakat sipil membuka informasi atas kondisi daerah ini,”kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia pada Human Rights Watch seperti dikutip http://www.hrw.org/news.

Human Rights Watch mengatakan kecewa dengan tanggapan pemerintah Indonesia atas  kekerasan yang meningkat di Papua. “Yudhoyono berkata kepada media pada 12 Juni, “Aksi [serangan di Papua]  kecil dan korbannya sedikit.  Mereka terlalu [kecil] jika dibandingkan dengan kekerasan di Timur Tengah, [di mana] kita dapat menyaksikan, setiap hari, serangan dan kekerasan dengan korban jiwa begitu banyak.”

“Presiden Yudhoyono harus berhenti bikin alasan atas kegagalan pemerintahannya menyelidiki kekerasan,” kata Pearson. “Mengizinkan akses penuh dan terbuka ke provinsi ini bagi pelapor HAM PBB, pers, dan pengawas lain dapat mengatasi rumor dan misinformasi yang sering meletupkan pelanggaran.”

Pemerintah Indonesia dengan ketat membatasi akses ke provinsi paling timur ini, Papua dan Papua Barat. Indonesia mengirim pasukan ke Papua sejak 1963 guna melawan gerakan kemerdekaan yang terus membara. Orang asing diharuskan memegang surat izin khusus untuk datang ke Papua. Surat izin macam ini secara rutin kerap ditolak atau diproses dengan lambat di Jakarta, menghambat upaya wartawan internasional dan organisasi masyarakat sipil melaporkan kejadian-kejadian terkini.

Human Rights Watch menyebutkan beberapa negara mendesak Indonesia untuk memberikan ruang demokrasi bagi Papua.  Negara Perancis minta Indonesia memberi akses bebas kepada masyarakat sipil dan jurnalis ke Papua dan Papua Barat. Pemerintah Britania Raya,  Negara Austria, Chile, Maldives, dan Korea Selatan mendesak Indonesia agar menerima permintaan pelapor HAM PBB dan badan-badan prosedur khusus PBB. Meksiko secara khusus minta pemerintah Indonesia mengundanng pelapor khusus PBB ke Papua.

Untuk itu, KontraS menginstuksikan kepada pihak-pihak terkait khususnya Pangdam XVII Cenderawasih dan Kapolda Papua untuk menghentikan tindakan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penembakan terhadap warga sipil dan aktivis di Papua.

Stop Operasi Densus 88, Gelar Dialog Damai

KontraS  menilai Papua akan dijadikan wilayah operasi Detasemen  Khusus (Densus) 88 sehingga kekerasan di provinsi tersebut akan terus  berlangsung. Kalangan masyarakat sipil mendesak untuk dilakukannya  penarikan TNI dan Polri.

Dia mengatakan salah satu sebab mengapa terjadinya kekerasan di  provinsi tersebut adalah ingin dijadikannya Papua Barat sebagai  operasi Densus 88. Sedangkan sebab lainnya, kata Kontras,  adanya pelabelan separatis pada sejumlah warga di Papua serta isu  keamanan di Asia Pasifik, khususnya Papua Barat telah menjadi alasan Indonesia memperkuat kerja sama keamanan bersama negara-negara imperialis.

Menyimak kondisi ini, berbagai pihak mendesak SBY untuk menggelar dialog damai sebagai jalan perdamaian di Papua. Desakan dialog tidak hanya dari orang Papua.  Seperti dikutip www.kontras.org , 24 Oktober 2012, KontraS  meminta SBY segera merealisasikan dialog damai antara  Rakyat Papua dan pemerintah Indonesia tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga.

Kontras menilai, perwujutan perdamaian di Papua harusnya dilakukan dengan forum dialog bukan dengan pengerahan TNI di kota-kota dan desa-desa di Papua.

Direktur Program The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Al Araf  juga menilai, dialog yang sempat diutarakan oleh SBY, hingga kini belum juga direalisasikan.

Seperti dilangsir http://www.jdp-dialog.org ,  Rabu, 24 Oktober 2012,  Pendeta Jodi dari Ikatan Keluarga Toraja (IKT) yang hadir pada Forum Kajian Indikator Papua Tanah Damai di Manokwari mengatakan,  dialog yang memiliki arti dan makna sesungguhnya,perlu untuk dilakukan.

Patriks seorang jurnalis yang juga berasal dari IKT menambahkan,” Dialog itu adalah sesuatu yang manusiawi, pandangan orang Toraja menyebutnya  ‘komboingan kalua’ itu mekanisme untuk menyelesaikan konflik yang paling humanis. Ini adalah gagasan yang selaras dengan budaya kami orang Toraja,” katanya.

Dr. Muridan Satrio Widjojo, salah satu Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) saat berbicara di acara Forum Kajian Indikator Papua Tanah Damai yang diselenggarakan Aliansi Demokrasi untuk Papua di Manokwari, Papua Barat, Oktober 2012 mengatakan, jika sudah ada niat yang kuat dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah di Papua, harus ditindaklanjuti dengan kebijakan yang mengarah jelas dan efektif.

Yan Christian Warinussy dari  Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Ketua Korwil DPP PERADIN Papua Barat/salah satu Pembela HAM di Tanah Papua mengatakan, SBY harus buka diri melihat harapan sebagin besar rakyat Papua untuk berdialog damai.

“Sangat bijaksana dan pasti memperoleh salut dari mayoritas rakyat Papua, jika Presiden SBY mau membuka diri dan ruang bagi dimulainya pembicaraan penting dalam konteks mempersiapkan penyelenggaraan dialog itu sendiri bersama rakyat Papua dengan difasilitasi atau dengan meminta pandangan dan pendapat serta saran dari Pater DR.Neles Tebay dan Jaringan Damai Papua [JDP],” kata Yan seperti dikutip JDP 10 Otober 2012.

Ia menilai, pendekatan yang semestinya digunakan oleh Presiden SBY dalam rangka penyelesaian masalah dan konflik di Tanah Papua sudah tidak tepat lagi degan pendekatan kesejahteraan, tetapi pendekatan sosio-antropoligis dan pendekatan politik dengan menggunakan dialog sebagai media utama. (Yermias Degei/MS)
Berita Terkait :
PGBP Desak Pemerintah Hentikan Kekerasan di Papua dan Gelar Dialog Damai
Protes Penyisiran Asrama RUSUNAWA, Mahasiswa Palang Kampus Uncen
Janji Kapolda Baru dan Kekhawatiran Kekerasan di Papua
Dr. Neles Tebay, Pr: Dialog Budaya Papua, Segala Hal Harus Bicara Dulu
KNPB Minta Polda Papua Jelaskan Penangkapan Danny dan Ungkap Pelaku Kekerasan
Public Speaking Keterampilan Penting

KONTRAS: PAPUA AKAN JADI WILAYAH OPERASI DENSUS 88






JAKARTA--  Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai Papua akan dijadikan wilayah operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 sehingga kekerasan di provinsi tersebut akan terus berlangsung. Kalangan masyarakat sipil mendesak untuk dilakukannya penarikan TNI dan Polri.

 Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan pihaknya menyesalkan hak atas kemerdekaan, berkumpul dan mengeluarkan pendapat di Papua tidak sepenuhnya dijamin oleh negara. Organisasi tersebut mencatat sejak Januari hingga Oktober 2012 terdapat 81 tindakan kekerasan, setidaknya 31 meninggal dan 107 orang mengalami luka-luka di Papua.

 "Demokrasi di tanah Papua telah dipancung dan menjadi tantangan berat bagi warga sipil untuk menkritisi kebijakan Negara yakni TNI dan Polri yang berlangsung hingga saat ini," ujar Haris dalam pernyataan bersama dengan National Papua Solidarity, Bersatu untuk Kebenaran dan Yapham, yang dikutip pada Jumat (26/10/2012).

 Dia mengatakan salah satu sebab mengapa terjadinya kekerasan di provinsi tersebut adalah ingin dijadikannya Papua Barat sebagai operasi Densus 88. Sedangkan sebab lainnya, kata Kontras, adalah adanya pelabelan separatis pada sejumlah warga di Papua serta isu keamanan di Asia Pasifik, khususnya Papua Barat telah menjadi alasan Indonesia memperkuat kerja sama keamanan bersama negara-negara imperialis.

 Haris mengungkapkan kondisi tersebut telah menjadikan Papua sebagai lahan subur bagi konflik, demi kepentingan negara, ekonomi dan kekuasaan. Kontras menilai tidak heran kenyataan itu mendorong rakyat pribumi di Papua bangkit memperjuangkan keadilan dan kebenaran yang tak kunjung tiba. "Kami mendesak kepada Presiden untuk segera membuka ruang gerak demokrasi di Papua dan merealisasikan dialog damai antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga," demikian Haris. (Bsi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar